TERKINI POST – Beredar di medsos video ceramah Burhanuddin Muhtadi Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia tahun 2019 yang menguraikan tentang era kebohongan saat ini atau yang dikenal dengan post-thruth.
Era pasca kebenaran yang digambarkan bahwa kebenaran emosional (emotional thruth) lebih dominan ketimbang kebenaran obyektif (obyective thruth). Kebohongan yang memang sengaja dibuat.
Ceramah yang nampaknya dimaksudkan untuk memproteksi Jokowi dari serangan kebohongan itu ternyata digunakan oleh pendukung Jokowi untuk memainkan jurus kebohongan agar memperoleh kemenangan.
Jokowi pun menjadi Presiden dengan segala dinamika atau kontroversinya. Prabowo pesaing politiknya terpaksa harus bertekuk lutut dan rela menjadi pembantu.
Baca Juga:
Litbang Kompas Ungkap Sebanyak 84,7 Persen Rakyat Kecil Puas dengan Pemerintahan Prabowo
Megawati Soekarnoputri Bersedia Bertemu degan Prabowo Subianto, PDI Perjuangan Ungkap Alasannya
Muhtadi membandingkan dengan kemenangan Pemilu Meksiko, Brazil dan Amerika Serikat. Donald Trump sukses memainkan strategi kebohongan.
Termasuk kebohongan dalam bentuk menakut-nakuti mulai ancaman China hingga terorisme dan radikalisme Islam. Semburan fitnah adalah bagian dari warna post-thruth.
Waktu itu tudingan diarahkan kepada lawan politik Jokowi. Saat kubu Islam menjadi sasaran.
Pengamat intelijen Dr Susaningtiyas Kertopati menyatakan di Indonesia post-thruth berkelindan dengan sentimen agama dan etnis yang berekses pada kekerasan dan mengancam stabilitas keamanan.
Baca Juga:
Ketua KPK Buka Suara Soal Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Belum Ditahan Meskpun Sudah Jadi Tersangka
Ada Pihak yang Diam-diam Incar Posisi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri: Gila!
Jokowi Ucapkan Selamat Ulang Tahun, Panda Nababan: PDIP Sudah Legawa dengan yang Dilakukan Jokowi
Setelah Jokowi berkuasa, maka karakter era post-thruth bergerak dinamis.
Kebohongan demi kebohongan pun dilakukan baik dengan ungkapan atau janji-janji palsu maupun membuat hantu-hantu yang mengancam.
Tiga kebohongan besar yang sengaja dihembuskan untuk memperkokoh kekuasaan yaitu:
Pertama, di tengah hutang luar negeri tahun 2016 sebesar 4.232 trilyun, Jokowi masih percaya diri menyampaikan dalam pidato sosialisasi tax amnesty di Makasar
Baca Juga:
Hasto Kristiyanto Siapkan Pledoi atau Pembelaan Dìri dalam 7 Bahasa, PDI Perjuangan Ungkap Alasannya
Jokowi menyebut bahwa di kantongnya tersimpan data atas dana luar negeri sebesar 11.000 trilyun rupiah. Kondisi keuangan yang sangat aman.
Kedua, pandemi covid 19 digunakan sebagai hantu untuk membangun ororitarianisme, menghambat kebebasan publik.
Serta memunculkan kebijakan untuk mengeruk bebas dana APBN tanpa pertanggungjawaban. Pandemi mengisi ruang narasi era post-thruth.
Ketiga, umat Islam dituduh dekat dengan terorisme, radikalisme dan intoleransi. Hantu yang berbahaya.
Antisipasi berupa moderasi beragama dicanangkan dan diprogram dimana mana termasuk di Kementrian Pendidikan dan Kementrian Agama.
Moderasi beragama adalah teror psikologis kepada umat Islam atas modus ancaman hantu-hantu itu.
Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan serangan kebohongan itu datangnya dari masyarakat terhadap pemegang kekuasaan.
Akan tetapi faktanya dan sangat terasa kebohongan di era post-thruth itu dominan dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat atau komunitas umat.
Ceramah Muhtadi sesungguhnya menjadi boomerang atau mungkin memang pas untuk mengeksplanasi karakter kekuasaan di era post-thruth saat ini yaitu: Rezim tukang bohong.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.***