TERKINI POST – Agar tidak melenceng dalam pembahasan sebaiknya kami batasi adanya oknum polisi yang bertindak di luar batas kemanusiaan saat melumpuhkan target.
Objek awal pembahasan adalah kasus pembunuhan yang dialami oleh Brigadir Josua, Jumat (8/7) di rumah dinas oknum polisi berpangkat bintang dua.
Kapolri akhirnya telah menyatakan bahwa tidak ada kasus pelecehan yang dilakukan oleh almarhum J setelah adanya laporan dari Timsus yang dibentuk oleh Kapolri.
ADVERTISEMENT
Baca Juga:
Nama Budi Arie Setiadi Disebut di Dakwaan Judi Online, Jaksa Berpeluang Panggil Sebagai Saksi
Bertemu dengan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi di Gedung KPK, Isu Bank BJB Tidak Jadi Pokok Bahasan

SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibat dari pernyataan Kapolri tersebut maka semakin kuat desakan masyarakat untuk meminta transparansi penyidikan.
Terhadap oknum polisi yang tidak bisa mengemban amanah sebagai garda dan ambasador Polri serta tidak bisa sebagai benteng terakhir masyarakat dalam mencari keadilan.
Tekanan bukan hanya datang dari Netizen minus buzzerRp, tapi juga kuasa hukum keluarga almarhum Brigadir J.
Baca Juga:
Pasar Saham RI Kembali Tancap Gas, CSA Index Jadi Indikator Semangat Baru Investor
Termasuk Anthony Salim, Prabowo Subianto Kenalkan Konglomerat kepada Investor Global Ray Dalio
Bahkan Ketua Umum Indonesian Police Watch Sugeng Santoso berani mensinyalir dugaan adanya Geng Mafia dari oknum polisi yang merekayasa pembunuhan terhadap anak buahnya sendiri.
Lebih dari 31 orang oknum polisi dari pangkat perwira tinggi, perwira menengah, hingga tingkat tamtama berikut staf sipil yang terkena getah perbuatan dari oknum polisi berpangkat bintang dua, FS yang sudah jadi tersangka sebagai dalang pembunuhan.
Kerja Timsus yang dibentuk Kapolri seakan menjawab sikap awal pesimistis masyarakat yang mendengar keterangan Polri atas pemindahan oknum polisi dari Bareskrim ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Untunglah kesabaran masyarakat menunggu perkembangan terjawab. Status tersangka oknum perwira tinggi Polri terobati.
Baca Juga:
Berselisih dengan Kardinal Soal Defisit Keuangan Vatikan, Kondisi Paus Fransiskus Sebelum Dirawat
Hallo Media Ajak Wartawan Berjiwa Wirausaha di Kota dan Kabupaten untuk Gabung Menjadi Koresponden
Masyarakat melupakan segala kekecewaan terhadap KOMPOLNAS yang awalnya seperti juru bicara institusi kerena hanya melanjutkan apa yang disampaikan pihak kepolisian.
Demikian pula kekecewaan masyarakat terhadap Komnas HAM yang dinilai tidak punya greget karena tidak mampu menghadirkan oknum dalang pembunuhan polisi tersebut.
Kepada kedua institusi ini perannya diredupkan oleh sikap sigap dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Kapolri mampu menyajikan progres kerja yang memadai mulai dari menonaktifkan Kadiv Propam hingga menghentikan Satgassus Merah Putih.
Institusi LPSK pun masih punya muka saat berani menolak “titipan Bapak”. Padahal bila diterima tentu uang tersebut bisa jadi barang bukti gratifikasi.
Yang belum terdengar saat ini adalah para buzzer Istana yang biasanya nyinyir berkomentar. Mereka diam 1001 bahasa. Seakan saat ini tidak terjadi hal penting.
Padahal bila ada kasus yang menyangkut umat Islam, mereka sangat getol mengeluarkan buih komentar bak orang yang bersih saja. Maklum mereka dibayar oleh kakak pembina.
Selain buzzer yang melempem, ternyata anggota komisi 3 DPR RI belum juga menampilkan perfomance yang memadai.
Padahal Komisi 3 adalah yang menjadi mitra kepolisian. Seharusnya mereka lebih kuat atensinya bersuara.
Ada apa ini? Saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengetahui sejauh mana kepolisian Republik Indonesia saat ini.
Kepolisian jangan hanya bisa menghantam masyarakat yang berdemo. Jangan hanya bisa menangkap bandar kecil narkoba.
Jangan hanya membiarkan Koruptor Apeng yang rugikan negara 100 Triliun.
Andai Komisi 3 semuanya pernah mengenyam kursus di Lemhannas tentu akan lebih menghayati pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang dijaga dan dihargai sesuai mukadimah UUD 1945.
Jangan sampai masyarakat seperti menunggu Godot yang tidak kunjung tiba hingga sesuatunya berakhir tanpa peran Komisi 3.
Opini: Suta Widhya SH, Penasehat Hukum.***