TERKINI POST – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mewanti-wanti pemerintah agar dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset nantinya wajib seiring dengan penataan ulang politik hukum nasional berkaitan pemidanaan.
Tujuannya, agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan hukum baru kedepannya.
Salah satunya, Arsul mengusulkan penghapusan subsidiaritas atau subsider hukuman dalam pembahasan RKUHP.
Demikian disampaikan Arsul saat hadir sebagai narasumber dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema.
Baca Juga:
Ingin Himpun Seluruh Kekuatan Bangsa untuk Kompak dan Bersatu, Prabowo Subianto Hadiri Rakornas PKB
60 WNA dari 5 Negara Terima Sertifikat Kompetensi Halal dari BNSP untuk Perkuat Standar Global
Persidangan Kasus Dugaan Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah, Artis Sandra Dewi akan Hadir Lagi
“Menakar Urgensi RUU Perampasan Aset” yang digelar di Media Center, Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 20 September 2022.
Turut hadir sebagai narasumber dalam Forum Legislasi tersebut yaitu Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil dan Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad.
“Saya setuju bahwa UU Perampasan Aset ini harus ada. Tetapi, sekali lagi mesti ditata. Jangan sampai nanti setelah UU-nya ada menimbulkan masalah hukum baru dan tidak efektif. Jadi, Menkopolhukam juga perlu menata secara keseluruhan.”
“Pemerintah jangan membuat model tambal sulam dalam pembentukan UU, akan tetapi harus dengan memikirkan keselarasan, keserasian dalam keseluruhan politik hukum pemidanaan nasional. Maka, saya pribadi dalam pembahasan RKUHP meminta agar subsidiaritas atau subsider hukuman itu dihapuskan,” ujar Arsul.
Baca Juga:
Survei Sebut 83,4 Persen Publik Yakin Pemerintahan Prabowo Mampu Pimpin Indonesia Lebih Baik
Sebanyak 8,3 Persen Penduduk Tak Punya Energi Hidup Sehat dan 68 Kabupaten/Kota Rentan Rawan Pangan
Selain itu, Politisi Fraksi PPP ini juga mengingatkan bahwa semangat pembentukan RUU Perampasan Aset tidak hanya untuk aspek penindakan tindak pidana korupsi (Tipikor) semata.
Melainkan, berbagai tindak pidana lainnya terutama membawa kerugian kepada negara meskipun bukan karena korupsi juga dapat dikenakan melalui UU Perampasan Aset contohnya tindak pidana narkotika dan tindak pidana penyelundupan.
“Contohnya, tindak pidana narkotika itu kan membawa kerugian kepada negara. Karena negara terpaksa harus terus melakukan rehabilitasi dan kemudian menyembuhkan para pengguna narkotika. Selain itu tindak pidana penyelundupan, itu kan juga merugikan negara.”
“Karena apa? Karena harusnya ada bea masuk dan pajak impor yang dibayarkan kepada negara, namun karena penyelundupan akhirnya negara tidak mendapatkan. Jadi, jangan seolah-olah dikaitkan bahwa RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini hanya terkait dengan Tipikor,” tandas Arsul.
Baca Juga:
Berpeluang Menjadi Menteri, Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan Beri Perhatian kepada Relawan
Lebih lanjut, Arsul menekankan urgensi pentingnya Indonesia untuk segera memiliki RUU Perampasan Aset.
Mengingat, Indonesia telah menyerahkan instrumen ratifikasi atas United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes (UNCTOC) beberapa tahun lalu sebagai rujukan pembentukan RUU Perampasan Aset.
“Keduanya sudah kita ratifikasi. Jadi sebetulnya wajar kalau kita harus punya UU Perampasan Aset ini,” pungkas Wakil Ketua MPR RI ini. ***